Sabtu, 21 September 2013

Ulumul Qur'an (Mutlaq dan Muqayyad)



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
Dalam disiplin ilmu ushul fiqh kita akan mendapatkan pembahasan tentang mutlaq dan muqayyad dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan mengetahui ayat-ayat yang mutlaq dan yang muqayyad, maka akan sangat memudahkan bagi kita untuk memahami dan mengetahui maksud dari suatu ayat tersebut. Dan dengan mengetahui maksud suatu ayat, maka akan sangat mudah bagi seorang mujtahid beristimbat untuk mendapatkan suatu hukum. Ketika hukum sudah didapat, maka  akan memudahkan siapa saja untuk mengamalkannya.
      Untuk memudahkan pemahaman tentang mutlaq dan muqayyad, maka  penulis akan  membahas tentang pengertian mutlaq dan muqayyad serta kapan hukum yang mutlaq dipahami dengan hukum yang muqayyad dengan disertai contoh dari ayat Al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di rumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengertian Mutlaq
2.      Bagaiman pengertian Muqayyad
3.      Bagaimana hukum lafadz Mutlaq dan Muqayyad.

C.     Tujuan Masalah
Tujuan Masalah pada makalah ini yaitu untuk :
1.      Mengetahui pengertian Mutlaq
2.      Mengetahui pengertian Muqayyad
3.      Mengetahui hukum lafadz mutlaq dan Muqayyad dalam al-quran





BAB II
PEMBAHASAN
MUTLAQ DAN MUQAYYAD

A.            Pengertian Mutlak dan Muqayyad
1.      Pengertian Mutlaq
a.              Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
b.              Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu menurut apa adanya.
c.              Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.[1]

Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu qayid (pembatas).
Jadi, ia hanya menunjukkan pada satu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafadz mutlaq ini pada umumnya berbentuk lafadz nakirah dalam konteks kalomat positif. Misalnya lafad roqobatin (seorang budak ) dalam ayat fatahriru roqobatin  ( maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak) .(al-mujadalah 58:3 ). Pernyataan ini meliputi pembahasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun yang kafir. Lafadz “ roqobah”  adalah nakirah dalam konteks positif. Karena itu, pengertian ayat ini ialah wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga.  Seprti ucapan Nabi : “ tak ada pernikahan tanpa seorang wali.” (HR Ahmad dan imam 4 ). “Wali” di  sini adalah mutlak, meliputi segala jenis wali baik yang berakal sehat maupun tidak. Oleh karena itu sebagian ulama Ushul mendefinisikan mutlaq dengan : “suatau ungkapan tentang isim nakirah dalam konteks positif ”. kata-kata “nakirah” mengecualikan isim ma’rifah dan semua lafadz yang menunjukkan sesuatu yang tertentu. Dan kata-kata “dalam konteks positif” mengecualaikan isim nakirah dalam konteks negatif (nafy), karena nakirah dalam konteks negatif mempunyai arti umum, meliputi semua individu yang termasuk jenisnya. [2]


2.      Pengertian              Muqayyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
 وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:93)
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang  datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid
yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.


3.      Hukum lafadz Mutlaq dan Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1.   Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a.       Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:  
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi...”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram. 
b.   Ayat Muqayyad:
  Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
 “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
2.       Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
a.       Ayat mutlaq :
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
....فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ....( المائدة:6)
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah...
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
b.       Ayat Muqayyad:
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ  ...(المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
          Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3.     Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;
a.       Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ...(المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b.       Muqayyad
                     Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan)  yang tidak sengaja, yaitu :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.  Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
4.   Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
a.       Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ( المائدة:38)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
          Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
b.       Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama  berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.[3]


















BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
1.              Menurut kesepakatan jumhur bahwa ayat mutlaq dibawa kepada ayat muqayyad jika sebab dan hukum keduanya sama.
2.              Hukum mutlaq dan muqayyad selama tidak ada hubungan keduanya, keduanya berjalan sendiri-sendiri. Ayat mutlaq dipahami sesuai dengan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad dipahami sesuai dengan kemuqayyadannya.
3.              Apabila salah satu dari sebab atau hukumnya saja yang sama, maka ayat yang mutlaq tetap tidak bisa dibawa atau dipahami kepada yang muqayyad.
4.              Perlu bagi seorang mujtahid sebelum beristimbat untuk mengetahui lebih dulu apakah ayat tersebut termasuk ayat yang mutlaq ataupun muqayyad.

SARAN
Di dalam Al-quran terdapat ayat-ayat yang mutlaq (tidakterbatas), dan ayat-ayat yang muqayyad (terbatas). Untuk memahaminya, maka,, belajarlah ilmu Ulumu al-quran supaya tahu antara ayat yang mutlaq dan muqayyad.














DAFTAR PUSTAKA


Manna khalil al-qattan, Mudzakir AS. Studi ilmu-ilmu quran, Litera AntarNusa HALIM JAYA, bogor: 2012


[2] Manna khalil al-qattan studi ilmu-ilmu qur’an hlm.350 bogor 2011.