BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam disiplin ilmu ushul fiqh
kita akan mendapatkan pembahasan tentang mutlaq dan muqayyad dalam
ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan mengetahui ayat-ayat yang mutlaq dan yang muqayyad,
maka akan sangat memudahkan bagi kita untuk memahami dan mengetahui maksud dari
suatu ayat tersebut. Dan dengan mengetahui maksud suatu ayat, maka akan sangat
mudah bagi seorang mujtahid beristimbat untuk mendapatkan suatu hukum. Ketika
hukum sudah didapat, maka akan memudahkan siapa saja untuk
mengamalkannya.
Untuk memudahkan pemahaman tentang mutlaq dan muqayyad,
maka penulis akan membahas tentang pengertian mutlaq dan muqayyad
serta kapan hukum yang mutlaq dipahami dengan hukum yang muqayyad
dengan disertai contoh dari ayat Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di
rumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian Mutlaq
2. Bagaiman pengertian Muqayyad
3. Bagaimana hukum lafadz Mutlaq dan Muqayyad.
C. Tujuan Masalah
Tujuan Masalah pada makalah ini yaitu untuk
:
1. Mengetahui pengertian Mutlaq
2. Mengetahui pengertian Muqayyad
3. Mengetahui hukum lafadz mutlaq dan Muqayyad
dalam al-quran
BAB II
PEMBAHASAN
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
A.
Pengertian Mutlak dan Muqayyad
1. Pengertian Mutlaq
a.
Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi
petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang
terpisah secara lafdzi.
b.
Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi
petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau
sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa
adanya.
c.
Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah
lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.[1]
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan suatu
hakikat tanpa sesuatu qayid (pembatas).
Jadi, ia hanya menunjukkan pada satu
individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafadz mutlaq ini pada umumnya
berbentuk lafadz nakirah dalam konteks kalomat positif. Misalnya lafad roqobatin
(seorang budak ) dalam ayat fatahriru roqobatin ( maka wajib atasnya memerdekakan seorang
budak) .(al-mujadalah 58:3 ). Pernyataan ini meliputi pembahasan seorang budak
yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun yang kafir. Lafadz “
roqobah” adalah nakirah dalam
konteks positif. Karena itu, pengertian ayat ini ialah wajib atasnya
memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Seprti ucapan Nabi : “ tak ada pernikahan
tanpa seorang wali.” (HR Ahmad dan imam 4 ). “Wali” di sini adalah mutlak, meliputi segala jenis
wali baik yang berakal sehat maupun tidak. Oleh karena itu sebagian ulama Ushul
mendefinisikan mutlaq dengan : “suatau ungkapan tentang isim nakirah dalam
konteks positif ”. kata-kata “nakirah” mengecualikan isim ma’rifah dan semua
lafadz yang menunjukkan sesuatu yang tertentu. Dan kata-kata “dalam konteks
positif” mengecualaikan isim nakirah dalam konteks negatif (nafy), karena
nakirah dalam konteks negatif mempunyai arti umum, meliputi semua individu yang
termasuk jenisnya. [2]
2.
Pengertian Muqayyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
(النساء:93)
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid
atau ikatan yaitu mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah
siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa
sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba
sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang datang dalam bentuk
muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid
yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
3.
Hukum lafadz Mutlaq dan Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada
sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka menurut ulama ushul
ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq
sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka
dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi
harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a. Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging
babi...”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah
meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah)
bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang
mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di
dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan
hukumnya adalah haram.
b. Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama
yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas
berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid
yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah
“dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan
surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang
terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada
ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau
ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3
surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah yang
mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
2. Jika sebab yang ada
dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda,
maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
a. Ayat mutlaq :
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
....فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ....(
المائدة:6)
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah...”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq
karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan
demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan
kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada
masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan
tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya
sampai pergelangan tangan.
b. Ayat Muqayyad:
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ ...(المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk
muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi”
(sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus
sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya
yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda.
Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad
menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada
ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya,
ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku,
sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.
Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3. Jika sebab yang ada pada mutlaq
dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq
tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;
a. Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar
yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ...(المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar
ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga
seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik
ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak,
baik yang beriman ataupun yang tidak.
b. Muqayyad
Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang
tidak sengaja, yaitu :
وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini
berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman),
maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain
kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya,
namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq
berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad
berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
4. Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq
berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak
tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
a. Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat
al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ ( المائدة:38)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah.”
Lafadz “yad”
dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan
tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
b. Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah
ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad
karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku).
Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu
lafadz “yad”. Ayat pertama berbentuk mutlaq, sedangkan yang
kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang
berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus
potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang
mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.[3]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Menurut kesepakatan jumhur bahwa ayat mutlaq
dibawa kepada ayat muqayyad jika sebab dan hukum keduanya sama.
2.
Hukum mutlaq dan muqayyad selama tidak ada
hubungan keduanya, keduanya berjalan sendiri-sendiri. Ayat mutlaq
dipahami sesuai dengan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad
dipahami sesuai dengan kemuqayyadannya.
3.
Apabila salah satu dari sebab atau hukumnya saja yang
sama, maka ayat yang mutlaq tetap tidak bisa dibawa atau dipahami kepada
yang muqayyad.
4.
Perlu bagi seorang mujtahid sebelum beristimbat untuk
mengetahui lebih dulu apakah ayat tersebut termasuk ayat yang mutlaq
ataupun muqayyad.
SARAN
Di dalam Al-quran terdapat ayat-ayat yang
mutlaq (tidakterbatas), dan ayat-ayat yang muqayyad (terbatas). Untuk
memahaminya, maka,, belajarlah ilmu Ulumu al-quran supaya tahu antara ayat yang
mutlaq dan muqayyad.
DAFTAR PUSTAKA
Manna khalil
al-qattan, Mudzakir AS. Studi ilmu-ilmu quran, Litera AntarNusa HALIM
JAYA, bogor: 2012